Jakarta, -- Presiden Joko Widodo menyebut pandemi virus corona (Covid-19) di Indonesia diprediksi mencapai puncak pada Agustus-September. Meski Jokowi mengakui bisa saja meleset ketika semua pihak tak meningkatkan kedisiplinan.
"Kalau melihat angka-angka memang nanti perkiraan puncaknya ada di Agustus atau September, perkiraan terakhir. Tapi kalau kita tidak melakukan sesuatu, ya bisa angkanya berbeda," kata Jokowi dalam pertemuan dengan media, Senin (13/7).
Jokowi diketahui Maret lalu juga puncak penularan Covid-19 di Indonesia bakal jatuh pada bulan Mei, sehingga bulan Juli jumlah kasus corona di Indonesia mulai melandai.
Apakah prediksi Jokowi soal puncak covid-19 terbukti? Sejumlah pakar meragukannya.
Dewan Pakar Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (IAKMI) Hermawan Saputra meragukan prediksi prediksi kedua Jokowi tersebut. Alasannya sederhana: Tidak ada kebijakan pemerintah yang berarti dalam penanggulangan virus corona.
"Tidak ada kebijakan yang powerful, yang meliputi semua daerah, sektor kehidupan yang dipakai," tutur Hermawan saat dihubungi CNNIndonesia.com, Senin (13/7).
Lihat juga: Bubarkan 18 Lembaga Negara, Jurus Hemat Anggaran Ala Jokowi
Hermawan mengingatkan, untuk mencapai puncak pandemi, salah satu kebijakan yang perlu diambil pemerintah adalah memperketat pembatasan sosial berskala besar (PSBB) sekaligus mengevaluasi penerapan adaptasi baru. Menurut dia, pelonggaran PSBB bukan langkah tepat untuk menuju puncak pandemi di Indonesia.
Hermawan justru melihat yang terjadi saat ini adalah, Jakarta misalnya, yang menerapkan PSBB transisi, keramaian mulai terlihat kembali di jalanan ibu kota. Masyarakat juga mulai berkumpul di area publik.
"Betapa di jalanan, keramaian di area publik yang luar biasa, membuat kasus ini naik terus dari hari ke hari, jadi kalau tadinya perkiraan Juli, kita masih ada di lembah yang menanjak sejauh ini," kata dia.
Hermawan menambahkan, IAKMI sebetulnya juga memprediksi bahwa penyebaran virus corona bakal mencapai puncaknya pada Agustus-September. Kendati demikian, menurutnya, jika melihat kondisi seperti sekarang, ia meragukan bahwa penyebaran Covid-19 dapat mencapai puncaknya.
Hermawan juga meminta pemerintah mempersiapkan sejumlah hal sebelum mencapai puncak penyebaran pandemi. Termasuk soal kebijakan yang konsisten, mengingat tingkat kesadaran masyarakat mengenai bahaya virus corona masih rendah.
"Banyak hal yang harus disiapkan, di samping pengendalian kasus, konsistensi kebijakan, fasilitas (kesehatan), termasuk manajemen kesehatan lingkungan di dalam dan luar ruangan, dan juga berkaitan dengan transportasi, area publik lainnya," tutur dia.
Di sisi lain, pemerintah juga perlu meningkatkan kapasitas testing untuk mencapai puncak pandemi. Sebab, bisa saja masih banyak kasus positif yang tidak terdeteksi dan terlaporkan.
Lihat juga: Prediksi Jokowi Puncak Corona Agustus-September
"Ini menyangkut under-detected and reported, karena kemungkinan terjadinya kasus yang tidak terdeteksi dan terlaporkan itu tinggi. Dengan 75 ribu kasus, potensi local transmission menjadi nyata, maka caranya yang terbaik dengan meningkatkan tingkat deteksi dan kapasitas testing," jelasnya.
Epidemiolog Universitas Griffith, Dicky Budiman juga mengatakan, prediksi Jokowi bisa saja tepat asalkan pemerintah bekerja keras meningkatkan kapasitas tes PCR untuk melacak kasus positif. Dicky menilai, selama ini kapasitas pengetesan Covid-19 di Indonesia belum maksimal.
"Kapasitas testing perlu masif dan tinggi jumlahnya agar bisa mendeteksi kondisi atau permasalahan pandemi yang terjadi," ujar Dicky.
Berdasarkan data Gugus Tugas, secara akumulatif, pengetesan PCR di Indonesia sampai dengan kemarin baru mencapai 630.160 orang, dengan total sampel sebanyak 1.074.467 spesimen.
Sementara itu, berdasarkan data Worldometer, kapasitas tes di Indonesia baru 3.927 per 1 juta penduduk. Angka tersebut masih jauh dari standar Badan Kesehatan Dunia atau World Health Organization (WHO) yakni 10.000 orang per 1 juta penduduk.
Menurut Dicky, kapasitas testing untuk mendeteksi penyebaran virus corona sangat dibutuhkan. Sebab, hal itu dapat membantu pemerintah melihat permasalahan yang sebenarnya dari penyebaran virus corona.
"Bila testingnya rendah maka otomatis akan kehilangan kemampuan untuk melihat permasalahan sebenarnya. Dan yang terjadi adalah rasa aman semu yang berbahaya," tuturnya.
Sejauh ini, Dicky menilai jumlah kapasitas testing PCR di Indonesia belum merata di semua daerah. Menurut dia, hanya Jakarta yang kapasitas tesnya memenuhi standar WHO.
Lihat juga: Tambah 67 Orang, Pasien Sembuh Klaster Secapa AD Jadi 165
Merujuk data Dinas Kesehatan DKI, kapasitas testing PCR di Jakarta dari 1 Maret hingga saat ini yakni 26.632 tes per 1 juta penduduk. Dalam periode 1 minggu terakhir yaitu 6 - 12 Juli 2020 telah dilakukan 3.569 tes per 1 juta penduduk per minggu.
"Saya khawatir pada daerah yang memiliki cakupan tes rendah ditambah kapasitas kesehatan yang juga minim, namun merasa daerahnya aman," tuturnya.
Sementara itu, Epidemiolog Universitas Indonesia Pandu Riono mengatakan, selama ini pemerintah menjalankan strategi yang salah dalam melacak penyebaran virus corona dengan melakukan rapid test atau cepat. Padahal, menurutnya, yang dibutuhkan adalah meningkatkan jumlah tes swab PCR.
"Selama ini kan testing salah strategi. Pakainya rapid test, terang aja banyak yang lolos, kalau PCR enggak ada yang lolos," tutur Pandu.
Seperti diketahui, jumlah kasus positif Dari jumlah tersebut, sebanyak 3.656 orang meninggal dunia, sedangkan 36.689 orang dinyatakan sembuh.
(dmi/ain)
0 Komentar